Mayat-mayat begelimpangan,
sebagian dalam keadaan tidak utuh.
Bau darah anyir memenuhi udara.
Tubuh-tubuh yang lain terjepit di
antara besi-besi, sebagian masih
hidup. Hari itu 19 Oktober 1987. Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan
Rangkasbitung Jakarta dan KA 220
cepat jurusan Tanahabang Merak
bertabrakan di dekat stasiun
Sudimara, Bintaro. Peristiwa itu terjadi
persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah
korban juga besar sangat besar yakni
153 orang tewas dan 300 orang
luka-luka. Peristiwa itu merupakan yang
terburuk setelah peristiwa tabrakan
kereta api tanggal 20 September
1968, yang menewaskan 116 orang.
Tabrakan terjadi antara kereta api
Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok. Bermula ketika KA 225, Stasiun
Sudimara pada pukul 6:45. Selang 5
menit kemudian, Jamhari, (petugas
PPKA Sudimara) menerima telepon
dari Umriadi (Petugas PPKA
Kebayoran Lama) yang mengabarkan KA no.220 berangkat menuju
Sudimara. Jamhari pun lantas
memerintahkan masinis KRD 225
yang berada di jalur 3 dilansir ke Jalur
1.
Di kilometer 18 dari Stasiun Tanah Abang peristiwa terjadi. Mendekati
Kampung Bintaro seperti biasa, peluit
kereta dibunyikan oleh masinis
Slamet. Namun dari arah yang
berlawanan tiba-tiba datang KA 220.
Tak ayal dua lokomotif yang terdiri dari tujuh gerbong dan sama-sama
sarat dengan penumpang tersebut
bertabrakan secara frontal. Beberapa
penumpang yang duduk di atas atap
sempat melompat namun sebagian
lagi tidak sempat menyelamatkan diri. Akibatnya kondisi gerbong yang
beradu muka sama-sama hancur
mengenaskan. Polisi menyebutkan, kesalahan
terindikasi dilakukan oleh Pemimpin
Perjalanan KA (PPKA) Stasiun Serpong
yang lalai melihat tanda di komputer
bahwa kereta dari arah Stasiun
Sudimara sudah diberangkatkan. Tanpa melihat komputer, ia langsung
memberangkatkan KA jurusan
Jakarta. Sementara dari arah Jakarta
(Stasiun Sudimara) pun kereta sudah
melaju. Akibat tragedi tersebut masinis Slamet
Suradio diganjar 5 tahun kurungan.
Ia juga harus kehilangan pekerjaan,
maka ia memilih pulang ke kampung
halamannya menjadi petani di
Purworejo sana. Kini ia menapaki masa senjanya dibalut kemiskinan
dan menanti seberkas sinar terang
untuk memperoleh pengakuan atas
jerih payah pengabdian selama lebih
20 tahun di atas roda besi. Nasib yang serupa juga menimpa
Adung Syafei (kondektur KA 225). Dia
harus mendekam di penjara selama 2
tahun 6 bulan. Sedangkan Umriadi
(Pemimpin Perjalanan Kereta Api,
PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan. Sedangkan seorang mantan pengatur
sinyal kereta api yang juga
dinyatakan bersalah dan kini
menapaki masa tua juga dengan
penuh penantian. Meskipun setelah
melalui banding, ia sudah diputus tidak bersalah, namun hingga kini
hanya bisa menunggu datangnya
mukjizat untuk memperoleh
pengakuan atas pengabdiannya
selama lebih dari dua puluh tahun.
Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas
Bitung, sekedar untuk nostalgia dan
tentu saja memperoleh belas kasihan
kolega yang juga sama-sama pantas
dikasihani. Dan Iwan Fals pun melantunkan
kepiluan tragedi nasional itu.
Sembilan belas Oktober tanah Jakarta
berwarna merah. Meninggalkan tanya
yang tak terjawab, bangkai kereta
lemparkan amarah. Air mata… air mata…. 
Sumber: Dekade80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar